Sejak lulus SMA – di ujung timur pulau Madura, aku punya hobi baru. Yaitu “ngopi”. Lebih dari sekedar minum kafein, “ngopi” bagiku adalah sarana yang cukup efektif untuk berinteraksi. Dengan siapa saja, tentang apa saja.
Paciran yang menampungku dalam 7 bulan, membuat kegilaanku akan “ngopi”semakin menjadi. Terbawa hingga ke kota onde-onde, mojokerto…
Malam mengarahkan kakiku pada sebuah waroeng kopi sederhana – meski tampak lebih besar dari waroeng kopi yang biasa aku jumpai sebelum-sebelumnya. Kepada wanita 30 tahunan aku memesan dengan logat jawa timuran:
“mbak kopi” lalu kusulut rokok.
“sak bubuke ta mas?” senyumnya penuh makna.
Meski tak memandang kepadanya, dahiku terpaksa mengernyit. Dalam benak, sebuah pertanyaan besar muncul: apa ada kopi yang bukan bubuk? Sekedar berniat menjawab penasaran, kujawab saja
“enggih mbak”
“o, nek sak bubuke sampean mlebet mawon mas…” tangan kanan mengaduk kopi dalam cangkir, tangan kiri menyingkap kain pembatas ruang di dalam. Astaghfirullahaladhim… (sok alim, cak2…) tampak beberapa wanita berdandan semlohai berpakaian minim senyum ramah. Genit merayu…
Alamak. Aku paham sekarang apa arti bubuk dalam “kopi sak bubuke”. Semoga kamu juga ngerti
bedjo.kampoengan